Dewasa ini, masih banyak yang belum memahami bahwa kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan raga. Banyak orang tak segan mengunjungi klinik hingga rumah sakit di kala batuk dan pilek menyerang. Walaupun begitu, masih jarang orang yang mau bertemu dengan psikolog secara sukarela.
Alasannya bermacam-macam. Pertama, mengunjungi psikolog diasosiasikan dengan mengalami sakit jiwa. Kedua, orang-orang tersebut mengesampingkan perasaan yang mereka alami, dan mengatakan kepada diri sendiri bahwa mereka akan baik-baik saja, atau perasaan tersebut akan hilang seiring berjalannya waktu.
Nyatanya, kesalahpahaman ini berbahaya dan harus segera dibenahi. Di bawah ini adalah 5 mitos mengenai kesehatan jiwa yang harus kalian tahu.
1/ Psikolog, konselor, psikiater itu sama saja.
Ada berbagai macam ahli kesehatan mental, seperti ada berbagai macam jenis dokter. Tentunya kamu tidak akan mengunjungi dokter spesialis THT di saat kamu mengalami sakit perut.
Mengetahui perbedaan ahli kesehatan itu penting. Misalnya saja, ada psikolog khusus anak dan remaja dan ada konselor spesialis pasangan atau pernikahan. Sementara itu, psikiater adalah orang yang dapat memberikanmu resep obat jikalau diperlukan.
2/ “Kenapa saya harus bayar orang lain untuk mendengarkan masalah saya?”
Kenapa kamu harus membayar orang lain untuk menjahit luka terbuka? Kenapa kamu harus ke rumah sakit saat tulang kakimu patah? Penyakit mental adalah penyakit. Otak kita adalah satu-satunya organ yang paling rumit di dalam tubuh kita. Jadi, kenapa tidak mengunjungi ahli demi menjaga kesehatannya?
3/ “Terutama jika saya memiliki orang yang menjaga saya.”
Teman, pasangan, hingga keluarga ada untuk saling mendukung. Dukungan emosional memang diperlukan di akhir hari yang mengecewakan. Dan disitulah orang-orang terdekatmu berperan. Namun teman, pasangan, dan keluarga tidak dilatih untuk menjadi menjadi tenaga kerja emosional.
Tenaga kerja emosional akan mendengarkanmu bercerita mengenai hari yang buruk tersebut, terus-menerus, selama 6 bulan lamanya, kemudian meyakinkan kamu bahwa kamu melakukan yang terbaik, dan membantu mencari solusi, tanpa mereka kehilangan kesabaran, atau justru mengambil keuntungan dari kelemahanmu. Kamu bisa membayangkan ada orang yang bersedia melakukan itu untukmu, secara cuma-cuma, dan tanpa henti?
4/ Terapi hanya untuk orang-orang yang sakit jiwa.
Ada banyak terapi untuk banyak masalah mental. Sakit jiwa yang seringkali disebut-sebut oleh orang-orang awam memiliki sebutan medis, yaitu schizophrenia. Pengidap schizophrenia biasanya membutuhkan bantuan psikiater. Namun, jangan kira pekerjaan ahli kesehatan mental hanya sebatas itu saja.
Tertekan dengan tuntutan orang tua, tidak bahagia di dalam pernikahan, memiliki kecemasan yang tinggi menjelang hari perkawinan dapat menjadi tanda awal dari masalah yang belum kamu sadari. Mengunjungi psikolog atau konselor dapat membantu kamu melihat masalah secara lebih jelas, serta membantu kamu mencari jalan keluarnya.
Dengan hanya mengasosiasikan terapi hanya untuk mereka yang ‘terlihat’ memiliki penyakit jiwa, maka kita berasumsi bahwa penyakit jiwa selalu ‘terlihat,’ yang mana tidak benar dan dapat berujung bahaya.
5/ “Zaman dulu tidak ada orang yang melakukan terapi, dan semuanya baik-baik saja.”
Zaman dulu juga tidak ada vaksin untuk polio atau tuberkulosis. Zaman dulu belum ada dokter yang melakukan transplantasi organ atau mengganti pinggul yang patah. Jadi, tidak ada perlunya melihat kembali ke zaman dulu, karena sekarang semuanya sudah berkembang ke arah yang lebih baik.
—
Sebagai kesimpulan, bila kamu tidak membutuhkan psikolog dalam hidupmu, maka bagus. Namun, jangan menilai buruk mereka yang membutuhkan, atau menjadikan kesehatan mental menjadi bahan bercandaan. Kita semua membutuhkan sedikit bantuan di waktu-waktu tertentu, jangan membuat segalanya lebih sulit bagi mereka yang sedang mencari bantuan. Yuk, lebih aware lagi!