Hyun Jun mengerutkan keningnya menatap sederetan nomor yang ada di secarik kertas yang ia pegang. Deretan nomor itu terasa familier di ingatannya. Tetapi di mana? Hyun Jun membaca tulisan itu sekali lagi sebelum akhirnya menyerah. Ia membuka tas kecil yang dibawa gadis itu
sekali lagi, mencoba mencari sesuatu yang bisa ia jadikan petunjuk. Petunjuk identitas.
Nihil. Selain secarik kertas, hanya ada ponsel yang mati.
Hyun Jun mengambil ponselnya sendiri dan menekan nomor sesuai dengan angka di kertas itu. Matanya membelalak ketika ponselnya mengenali nomor itu.
Tae Woo hyeongbu…
Serta-merta, Hyun Jun mematikan sambungan teleponnya. Apa aku salah tekan? Hyun Jun menduga- duga. Ia menekan lagi ponselnya dengan hati-hati. Sama saja. Hyun Jun semakin bingung. Kenapa gadis ini punya nomor telepon rumah kakaknya? Lewat kaca spion, Hyun Jun memandang gadis yang sekarang tertidur dengan lelap di kursi belakang mobilnya itu dengan bimbang.
Siapa dia? Dari bahasanya, sudah pasti dia bukan orang Korea. Apalagi orang Seoul. Tetapi
wajahnya mirip orang Korea. Mungkin dia orang Korea yang lama tinggal di negara lain makanya ia
bisa bahasa lain. Orang mabuk bisa melakukan hal-hal yang mengagumkan di bawah sadarnya.
Anak simpanan hyeongbu? Hyun Jun tiba-tiba memiliki pemikiran aneh. Mungkin saja. Dulu
nuna2 sempat divonis tidak bisa melahirkan. Tetapi keajaiban terjadi dan nuna-nya tiba-tiba bisa
melahirkan anak kembar. Hyun Jun menggelengkan kepalanya, mencoba mengenyahkan pemikiran
konyol itu. Kakaknya memang baru mendapatkan anak saat usianya 35 tahun, tetapi ia tidak bisa
membayangkan kakaknya memiliki anak di luar nikah apalagi yang sudah sebesar ini. Si kembar
saja baru berusia 5 tahun.
Sekarang apa? Hyun Jun menimbang-nimbang.
Beberapa saat kemudian, Hyun Jun menjalankan mobilnya. Ia sudah mengambil keputusan.
***
Nia tidak tahu bagaimana ia bisa pulang, tetapi yang jelas saat ia membuka mata, ia sudah
berada di dalam kamarnya sendiri dengan kepala pening. Aku mabuk? Ia mengerang sambil
memegang kepalanya. Siapa yang membawaku pulang?
Nia menghentikan pertanyaannya ketika ia mendengar suara seorang pria dari sebelah
kamarnya. Ah, tidak. Suara itu dari kamarnya. Ada seorang pria di kamarnya.
“Ya, Hyeongbu. Aku tahu. Ya, aku akan memindahkan barangku secepatnya. Sekarang aku di
rumah Hyeongbu. Ah… tidak… tidak perlu… urusan Hyeongbu di Jeju pasti lebih penting. Aku hanya
ingin melihat rumah ini lagi, tidak penting, Hyeongbu,” Hyun Jun membalikkan badannya untuk
melihat gadis yang tadi ia bawa. Ia terkejut saat melihat gadis itu juga memandangnya dengan
seribu pertanyaan di wajahnya.
“Oh… maaf, Hyeongbu… sudah dulu ya… tenang saja, begitu Hyeongbu dan nuna kembali dari Jeju,
aku akan menjelaskannya langsung pada nuna. Aku tahu nuna keras kepala. Aku pasti bisa
meyakinkannya.” Hyun Jun memasukkan iphone-nya ke kantong celana dan tersenyum pada Nia
yang masih memegang kepalanya dengan sebelah tangan.
“Ini rumah Park Tae Woo ssi3 kan?” Nia mengucapkan nama majikannya.
Hyun Jun menaikkan alisnya. Gadis ini baru saja memanggil kakak iparnya dengan akhiran –ssi,
seakan mereka ini teman sebaya. Hyun Jun hendak menegurnya, tapi kemudian mengurungkan
niatnya saat melihat wajah ketakutan gadis itu. Ia pun mengangguk, “Tentu saja.”
Nia menatap sekelilingnya. Benar, ini kamarku. Setelah yakin, gadis itu menatap pria itu tajam.
“Kalau begitu, Anda punya waktu satu menit untuk meninggalkan kamar saya!” Hyun Jun tercengang mendengar ucapan galak gadis itu. Tiba-tiba saja gadis itu terlihat dewasa
dalam sekejap.
“Anda sudah dengar apa kata saya,” ucap Nia tegas. “Saya tidak tahu siapa Anda dan apa mau
Anda di kamar saya, tapi yang saya tahu tidak seharusnya seorang laki-laki berada di kamar wanita,
terlebih jika kita tidak saling mengenal.”
“Ah… dengar dulu, gadis kecil,” sela Hyun Jun. “Kau salah paham. Aku tadi menemukanmu dalam
keadaan mabuk, lalu―”
“Saya tidak perlu penjelasan Anda dan―,” Nia mengambil jeda sejenak, “saya sudah dewasa, jadi
jangan menyebut ‘gadis kecil’.”
Lagi-lagi Hyun Jun terpana, “Aku rasa aku memang perlu menjelaskannya, gadis kecil. Aku―,”
“Umur saya sudah 22 tahun, Tuan!” seru Nia jengkel. Tiba-tiba sakit kepalanya hilang. “Saya
sudah dewasa.”
“Eh? Masa?” Hyun Jun lagi-lagi dikagetkan oleh Nia. “Bukan 18 tahun?”
***
Nia berkali-kali menundukkan kepala meminta maaf pada pria yang ada di depannya. Setengah
jam yang lalu, ia baru tahu bahwa pria yang ada di kamarnya tadi adalah tuan mudanya―adik
majikannya.
“Sudah… sudah… berhentilah meminta maaf,” Hyun Jun menyela ketika Nia hendak
menundukkan kepalanya lagi. “Aku semakin pusing jika kau melakukannya terus.”
“Baik, Hyun Jun ssi. Tidak akan saya lakukan lagi,” ucap Nia takut-takut. Sejak ia tahu kebenaran
itu, ia khawatir akan kehilangan pekerjaannya. Padahal kekhawatirannya sama sekali tidak
beralasan.
“Aku jauh lebih tua darimu. Seharusnya kau tidak memanggilku dengan namaku saja,” Hyun Jun
menegur. “Terlebih pada hyeongbu. Akhiran ssi tidak boleh sembarangan kau pakai. Kau hanya
boleh menggunakannya untuk orang seumuranmu. Sepertinya kau perlu belajar sopan santun di
Korea, ya.”
“Hee So eonni sudah mengajari saya tapi sepertinya otak saya tidak begitu bagus. Saya terus-
menerus lupa istilah penting. Saya tahu saya seharusnya memanggil dengan istilah dor-sesuatu-
dor…”
Hyun Jun tiba-tiba malah tersenyum geli mendengar suara gagap Nia. “Maaf―“ Nia melirik Hyun
Jun, berharap pria itu mau membantunya mengingat istilah itu.
Gadis itu hanya menatap Hyun Jun dengan pandangan bertanya. Hyun Jun membuka mulutnya
lagi, “Seharusnya―”
Nia menatap Hyun Jun dengan mata penuh harap, seakan ia sudah siap mencatat di kepalanya
apa yang akan dikatakan Hyun Jun setelahnya.
“―ah sudahlah, terserah kau saja. Kau boleh memanggilku Hyun Jun ssi, dengan begitu aku juga
merasa lebih muda,” Hyun Jun terlihat senang dengan pemikirannya sendiri.
“Ba-baiklah, Hyun Jun ssi,”
“Kau tahu kau tadi menyebutku apa?” Hyun Jun bertanya pada Nia dengan sebuah senyum geli
tersungging.
Nia menundukkan kepala tidak berani menjawab.
“Pangeran kodok,” Hyun Jun berkata sambil tertawa renyah.
“Ma–,” spontan Nia menutup mulutnya. Hampir saja kata maaf meluncur keluar.
“Dulu ada gadis kecil yang selalu menyebutku pangeran,” Hyun Jun berhenti tertawa dan
menerawang. “Sebenarnya bukan gadis kecil, umurku dan umurnya hampir sama tapi dia kecil
sekali seakan ia memang masih anak kecil. Ya… seorang gadis kecil… sepertimu.”
Sepersekian detik kemudian. Hyun Jun menolehkan wajahnya ke Nia dengan penuh penyesalan.
“Ah… maaf… maksudku… bukan… kau sudah dewasa… kau bukan gadis kecil… maksudku…” pria itu
jadi salah tingkah.
“Tidak apa-apa.”
Itulah senyum pertama yang Hyun Jun lihat dari wajah Nia. Ia terpana. Itu senyum seorang
wanita, bukan gadis kecil.
***
“Maaf, Hyeongbu. Aku bukannya sengaja,” Hyun Jun mengepit iphone-nya, berbicara pada Park
Tae Woo―kakak iparnya―, sambil membuka-buka berkas di hadapannya. Kantornya di lantai tiga
terlihat sangat nyaman. Dengan gaya minimalis, ruangan itu jadi terlihat lebih lebar.
“Aku tahu nuna pasti sangat kecewa. Iya, dan juga marah,” Hyun Jun nyengir mengiyakan. Ia baru saja mendengar teriakan kakak perempuannya dari kejauhan. Sedetik kemudian, suara perempuan terdengar di telinganya.
“Lee Hyun Jun, kau mau membuatku mati kesal?” Lee Yu Hwa berseru dengan suara keras. Hyun
Jun menjauhkan ponselnya. Kakaknya masih saja galak.
“Bukan begitu, Nuna,” Hyun Jun berusaha menjelaskan, “tapi aku benar-benar tidak bisa pindah
sekarang. Perusahaan mendapat tuntutan dari perusahaan dari Jepang. Amy, si model, tiba-tiba
sakit saat show minggu lalu, padahal dialah kunci acara itu. Jadi, kami dianggap melanggar kontrak.
Aku yang harus menyelesaikan masalah karena Amy tanggung jawabku.”
“Tidak ada hubungan antara kantormu yang bermasalah maupun Amy dengan kepindahanmu ke
sini! Jangan cari-cari alasan!” teriak Yu Hwa.
“Nuna,” ucap Hyun Jun sabar, “aku perlu ketenangan dalam menyelesaikan masalah ini. Dan aku
tidak bisa mendapatkannya di rumah kalian.”
“Kenapa tidak?” Yu Hwa menantang.
“Pokoknya tidak bisa,” Hyun Jun tidak mengatakan alasannya. Tentu saja ia tidak bisa karena
alasan utamanya adalah nuna-nya. Mana bisa ia berkonsentrasi jika kakaknya itu selalu
menceramahinya agar segera menikah dan punya anak.
“Justru kau harus ke sini!” Yu Hwa tak mau kalah. “Aku tahu sifatmu. Kau pasti akan lupa makan
dan beristirahat jika sudah sibuk bekerja. Kalau kau pindah ke rumahku, akan ada yang
merawatmu. Kau tidak punya pembantu di apartemenmu.”
“Aku tidak perlu pembantu, Nuna,” Hyun Jun menyela. “Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
“Ha!” Yu Hwa tertawa mengejek. “Mengurus diri bagaimana maksudmu? Dengan menjadi kurus
dan jatuh sakit? Aku tidak mau kejadian bulan lalu terjadi lagi. Aku juga tidak mau mendengar
alasanmu! Nanti malam kau datang ke sini. Kita perlu bicara!”
***
Hyun Jun menatap wajah kakaknya yang menampilkan wajah garang. “Sungguh, Nuna. Aku akan
segera pindah kemari begitu masalah di kantor selesai dan…”
”Dan apa?” potong Yu Hwa, tatapannya setajam elang yang mengincar mangsanya.
”Dan…” Hyun Jun jadi sedikit takut melihat tatapan kakaknya, ”dan setelah perjalananku ke
Indonesia,” menyebut negara itu membuat dada Hyun Jun sesak. Ia merasa belum siap kembali ke
negara itu. Persiapannya belum matang. ”Aku dan Min Ju akan mengawasi pembukaan kantor
cabang di sana.”
Yu Hwa mendengus tak senang, ”Jadi, kapan kau akan pindah?”
Hyun Jun belum sempat menjawab, Yu Hwa sudah membuka mulutnya lagi. “Atasanmu
menyuruhmu kerja lembur?” tanya Yu Hwa dengan tampang masam. “Sudah kubilang lebih baik
kau bekerja dengan hyeongbu-mu, kenapa kau keras kepala? Pekerjaanmu akan lebih santai kalau
kau bekerja di perusahaan kita.”
Hyun Jun tersenyum, tahu kakaknya mengkhawatirkannya. “Aku tidak ingin santai, Nuna. Aku
ingin mencari pengalaman. Lagi pula, itu bukan bidangku. Aku tidak mengerti masalah hotel,
restoran, dan tetek bengeknya.”
Yu Hwa mendengus, “Yang perlu kau cari itu pasangan hidup, bukan pengalaman. Memangnya
kau bisa menikahi pengalaman?”
Hyun Jun tidak membalas. Ia tahu ia akan kalah kalau membicarakan masalah pasangan hidup
dengan kakaknya. Kakaknya selalu memaksanya menikah, bahkan beberapa kali menjodohkannya
dengan gadis-gadis. Tetapi Hyun Jun tetap bersikukuh pada pendiriannya. Tak sekali pun ia melirik pilihan kakaknya. Ia punya pilihan sendiri. Ia sedang mencari seorang putri dari negeri dongeng.
Cinderella.
“Heran… kau ini manajer di entertainment agency! Kau selalu bertemu dengan artis dan model.
Pekerjaanmu selalu dikelilingi wanita cantik! Kenapa sikapmu seakan bekerja di padang gurun
tanpa wanita? Kenapa tidak kau gandeng saja salah satu modelmu? Memang sih mereka sepertinya tidak memiliki otak, tapi paling tidak mereka kan bisa menjagamu dan tentunya… melahirkan anakmu nantinya,” Yu Hwa tetap saja melanjutkan petuahnya.
“Nuna pikir menikah cuma untuk membuat anak?” sindir Hyun Jun, hilang sudah selera
makannya, bahkan sebelum makanan dihidangkan.
“Sudah… sudah…” Tae Woo, kakak ipar Hyun Jun, menengahi ketika suasana di meja makan
semakin tegang. “Kita makan dulu setelah itu kita akan membahasnya lagi.”
Yu Hwa tetap merengut. “Hee So ssi! Kau boleh mengeluarkan makanannya sekarang. Sekalian
panggil si kembar. Ke mana kedua anak itu?”
***
Nia menggoreskan pensilnya di sebuah kertas. Menebali tulisan itu lalu mencoret-coretnya
dengan kesal. Apa yang kau pikirkan, Nia? Nia menarik napas dalam-dalam lalu memejamkan
matanya.
Seandainya rumus ini memang berlaku, aku perlu mencari seorang pangeran karena saat ini aku
hanya punya satu bahan dasar yaitu aku sendiri, si gadis miskin. Jika pangeran itu sudah kutemukan, aku juga harus menambahkan keajaiban agar aku bisa menjadi Cinderella sepenuhnya.
Sialan! Nia tiba-tiba mengumpat dalam hati. Siapa sih yang menciptakan cerita Cinderella?
Mereka membuat gadis-gadis sepertiku membangun harapan di awan. Dasar pengkhayal! Tapi… seandainya aku bisa mengubah nasibku… alangkah baiknya… seorang pangeran… di manakah engkau tinggal sekarang? Aku memerlukanmu. Pangeran Kodok pun tidak apa-apa. Aku
hanya memerlukanmu untuk melawan si jahat ibu tiri.
Nia memutar-mutar rambutnya kemudian bangkit berdiri dari kursinya. Nia keluar dari
kamarnya dan menuju ke dapur. Ia sudah terlalu lama di kamar. Tadi Hee So eonni menyuruhnya
mengambil sebuah pulpen.
“Lama sekali kau pergi,” teguran itu langsung meluncur dari Hee So. “Kau mencari pulpen atau
membelinya?”
“Maaf, Eonni,” ucap Nia lalu membantu kepala pelayan itu menata makanan di piring. “Aku lupa
menaruh pulpen itu di mana,” Nia berbohong.
“Hee So ssi! Kau boleh mengeluarkan makanannya sekarang,” teriakan majikan mereka
terdengar sampai ke dapur. ”Sekalian panggil si kembar. Ke mana kedua anak itu?”
Kim Hee So menyenggol Nia, “Kau bawa ini keluar. Hidangkan di atas meja. Jangan sampai
tumpah.”
Nia mengambil piring yang dimaksud Hee So lalu menuju ke ruang makan.
“Nuna, paling lama hanya sebulan lebih sedikit,” Hyun Jun berjanji. “Ini hanya penundaan
sementara.”
“Besok kau harus sudah memindahkan barangmu kemari,” Yu Hwa mengeraskan rahangnya,
tidak mau menerima perkataan adiknya.
Nia masuk ke dapur lagi dan mengambil makanan yang lain.
“Baiklah… baiklah… aku akan menyewa seorang pembantu atau juru masak atau apalah.
Terserah Nuna. Beres kan?” Hyun Jun mengalah dengan muka masam.
Yu Hwa menggelengkan kepalanya, “Aku tidak percaya mereka bisa mengurusmu dengan benar.”
“Kalau begitu apa mau Nuna sebenarnya?” Hyun Jun mulai kesal.
“Seperti yang kubilang tadi―,”
“Maaf―“ Nia menundukkan kepalanya. Ia baru saja menjatuhkan sebuah sendok dari meja Yu
Hwa. “Akan saya ganti.”
Yu Hwa memegang lengan gadis itu. “Tunggu sebentar―,” ucapnya dengan mata berbinar.
Sebuah ide melintas di kepalanya.
“Ya?” Nia tidak tahu majikannya berbicara pada siapa, tetapi ia menjawab.
Yu Hwa menatap adiknya. “Aku sudah menemukan solusinya,” ia tersenyum lebar.
“Apa?” tuntut Hyun Jun.
“Bawa gadis ini bersamamu.”
Hyun Jun mengerutkan kening, “Maksud Nuna?”
Yu Hwa mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh semangat, “Bawa dia. Ia pintar
memasak, walau bukan masakan Korea. Masakan dari negeri asalnya juga enak. Aku percaya
padanya. Ia akan menjadi pembantumu. Dia bisa memasak sekaligus mengurusmu.”
“Eh?” Nia terbelalak. Apa yang barusan dikatakannya? Memasak? Ia menatap wajah Yu Hwa dan
Hyun Jun bergantian. Gawat!!!
Aku memandangi wajah di depanku dan menyadari bahwa ia seorang Cinderella.
Seorang Cinderella pasti pandai memasak, kan?
Ia menyajikan sebuah masakan, tapi aku tahu ia menghidangkan makanan siap saji yang entah ia beli di mana.
Lalu, apa yang ia lakukan berpura-pura menjadi seorang Cinderella?
Ah, manusia jadi menarik jika punya rahasia, kan?