Sinopsis:
Pandora adalah cerita cinta antara dua anak muda yang sangat berbeda. Rama–lelaki tampan pujaan semua gadis di kampusnya, dan Intan–satu-satunya gadis berpenampilan sederhana yang tidak tertarik pada Rama. Diburu rasa penasaran, Rama melakukan segala cara untuk membuat Intan luluh kepadanya.
Satu yang tak pernah Rama sangka, bahwa ia sendirilah yang akan benar-benar jatuh hati kepada Intan. Layaknya Pandora–perempuan pertama yang diciptakan–Intan adalah gadis pertama yang diciptakan yang berhasil merebut hatinya.
Namun, apakah Intan akan membawa kebahagiaan atau justru kehancuran bagi Rama?
Kelewatan baca cerita PANDORA? Sobat Shopee bisa baca episode sebelumnya di sini:
Episode 1 – PANDORA : Pertemuan Pertama
Episode 2 – PANDORA : Senyuman Pertama
Episode 3 – PANDORA : Empat Mata
***
“Ntan… gue bener-bener nyaman sama lo. Hmm… kita jadian, yuk. Lo mau jadi pacar gue?”
Ada keheningan yang tidak nyaman setelah gue mengucapkan kalimat itu. Intan hanya diam dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ekspresinya jelas bukan menggambarkan kesenangan. Gue paham kalau dia merasa kaget (well, wajar banget, sih) tapi yang lebih gue takutkan lagi kalau Intan justru malah marah. Iya, gue tahu ini terlalu cepat. Gue sendiri pun kaget kenapa dengan mudahnya gue mengucapkan kalimat itu. Man, ini baru acara “nge-date” pertama kita. Tapi perasaan gue tiba-tiba meluap aja gitu.
Intan yang masih menampilkan ekspresi datar, menyeruput es teh manis di depannya. Ia kemudian menghela napas dan kembali menatap gue.
“Ram… lo kenapa, sih?”
Ditanya Intan begitu, gue malah jadi bingung. Kenapa gimana, ya?
“Hmm, maksudnya, Ntan?” gue balik bertanya seperti orang bodoh.
“Lo aneh banget. Lo sakit? Atau lagi marahan sama salah satu cewek lo?” tanya Intan sambil menyipitkan mata dan menatap gue curiga.
“Wow, ‘salah satu’ cewek? Satu pun aja gue nggak punya, Ntan. Emang lo kira gue punya banyak?” tanya gue cukup kaget dengan ucapan Intan. Jadi, selama ini gue dikira playboy sama Intan?
“SERIUS LO? Dari segitu banyak cewek yang ngejar lo, nggak ada satu pun yang nyangkut??” Intan kali ini benar-benar kaget. Suaranya lebih tinggi dari biasanya dan matanya melotot menatap gue.
Wah, gue benar-benar dikira playboy, nih. Padahal gue dikenal sebagai si penolak waninta. Selama kuliah, gue nggak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun. Maklum sih, Intan anak baru di kampus. Mungkin dia belum mendengar kabar ini.
“Parah lo, Ntan. Lo kira gue playboy apa? Nggak sama sekali lagi. Justru gue tuh sulit buat didapetin.” jawab gue dengan bangga akan reputasi gue.
Intan hanya mencibir kemudian memandang ke arah jendela di sampingnya sambil menyeruput kembali es teh manisnya. Kemudian ia membereskan barang-barangnya ke dalam tas seperti akan pergi.
“Hmm, Ram, gue balik duluan ya.” Intan tiba-tiba beranjak dari kursi sambil menenteng tasnya di pundak kanan.
“Lho, bentar bentar, Ntan. Lo belum jawab pertanyaan gue tadi.” kata gue sambil menahan lengan Intan.
Intan hanya tersenyum memandang gue sebelum pamit pergi. Tanpa menoleh sekali pun, Intan keluar dari restoran dan hilang dari pandangan gue.
Gue yang ditinggal sendirian cuma bisa kembali duduk dan memanggil pelayan untuk meminta bill. Gawat, Intan beneran nggak suka sama gue? Apa ini artinya gue ditolak? Seorang Rama ditolak cewek. Bisa jadi berita besar nih, kalau sampai Andre tahu. Gue yakin dia bakal ngetawain gue berhari-hari.
Setelah membayar makan siang tadi, gue bergegas pergi dari restoran dan menuju ke rumah. Tiba-tiba gue teringat satu hal terbodoh yang gue lakukan. Gue belum punya nomor telepon Intan dan besok adalah weekend. Gue bahkan nggak tahu Intan tinggal di mana. Apa gue harus menunggu sampai Senin buat ketemu Intan lagi? S-t-u-p-i-d.
***
Hari Senin pun tiba dan selama weekend kemarin, gue berusaha mendapatkan nomor telepon Intan dengan bertanya ke semua teman gue. Tapi sayangnya, nggak ada yang tahu. Jadi gue hanya bisa menunggu Intan di kelas seperti saat ini.
Dan ternyata meja yang biasa diduduki Intan tetap kosong hingga kelas berakhir. Gue akhirnya bertanya ke teman yang selalu bersama Intan, namun mereka semua mengucapkan hal yang sama, “Gue belum ketemu Intan dari pagi, Ram.”
Gue mencari Intan di perpustakaan, taman, kantin, dan semua tempat yang biasa ia datangi di kampus. Namun, Intan nggak terlihat sama sekali. Apa dia nggak masuk? Duh, jangan sampai kejadian adegan seperti di sinetron. Intan pergi ke luar kota tanpa pamit dan meninggalkan gue. Ok, mungkin gue udah terlalu lelah.
Sampai sore hari gue belum berhasil menemukan Intan di kampus. Akhirnya gue memutuskan cabut dan menunggu Intan di jalan saat kita pernah berpapasan dulu. Kalau jalan itu adalah jalan menuju rumah Intan, berarti Intan pasti akan lewat situ.
Setelah hampir tiga jam gue menunggu di dalam mobil, sambil makan burger yang udah gue persiapkan sebelumnya, akhirnya gue melihat sosok Intan di ujung jalan. Sepertinya Intan tidak ke kampus karena ia hanya membawa tas kecil, biasanya ia membawa tas ransel yang cukup besar setiap ke kampus.
Ketika Intan semakin dekat, gue membuka pintu mobil dan berdiri menghadap ke arah Intan berada. Intan tampak kaget dan berhenti berjalan setelah melihat gue. Gue pun berjalan menghampiri Intan sambil menampilkan senyum termanis gue.
“Lo habis dari mana, Ntan? Nggak ngampus ya?”
“Ram, lo ngapain di sini?” tanya Intan kaget.
“Mau ketemu lo. Gue nungguin udah hampir tiga jam tau.” Kami kemudian mulai berjalan bersebelahan. Intan sama sekali tidak berkata apa-apa lagi.
“To the point aja, deh. Apa jawaban lo sama pertanyaan gue kemarin, Ntan? Lo mau jadi pacar gue?” tanya gue tanpa basa-basi lagi. Gue udah sangat penasaran sama jawaban Intan.
“Kenapa? Apa alasannya, Ram? Kita kan belum kenal terlalu lama. Lo bahkan nggak tahu nomor hp dan rumah gue ‘kan?” tanya Intan.
Pertanyaan Intan ini membuat gue terdiam sejenak. Kalau ditanya kenapa, gue sebenarnya nggak tahu secara jelas. Gue memikirkan jawaban gue dengan sangat hati-hati.
“Jujur, gue nggak tahu apakah jawaban gue ini tepat. Gue emang nggak bisa memuji lo seperti cowok lain, i’m not good at that. Tapi yang gue tahu, gue nyaman berada di dekat lo, Ntan. Lo nggak melihat status dan fisik gue. Lo nggak meminta dan berharap banyak dari gue. Lo memperlakukan gue seperti cowok biasa, bukan Rama si flower boy kampus. And that’s enough for me to fall hard for you.”
Intan hanya diam mendengar penjelasan panjang dari gue. Keraguan terlihat jelas di raut wajahnya.
“Duh, Ram. Kita tuh nggak mungkin. Kita bahkan belum kenal lama. Gimana kata orang lain…” jawab Intan ragu.
“Nggak usah pikirin orang lain, yang jalanin kita bukan mereka. Kamu takut sama cewek-cewek nggak jelas yang suka ngejar aku itu? Tenang, kamu bakal aman kalau sama aku. Sekarang pertanyaannya adalah, kamu nyaman kalau jadi pacar aku?” jawab gue sambil menatap Intan dalam.
“Ih, ngapain sih tiba-tiba pakai aku-kamu?” Intan terlihat salting sambil mengalihkan pandangannya dari mata gue. Tapi, gue bisa melihat sedikit senyuman di bibirnya.
“Eh, kok senyum? Jadi oke, nih? Suka? Kita jadian?” tanya gue dengan antusias sambil berdiri di depan Intan untuk melihat wajahnya lebih jelas. Intan hanya diam saja namun senyumnya semakin lebar.
Intan kemudian memandang gue dan berkata, “Siapa sih yang nggak suka sama lo, Ram? Awalnya gue kira lo cuma cowok sombong yang suka tebar pesona. Makanya gue berusaha menjauh dari lo. Tapi, gue melihat effort lo yang ingin mengenal gue lebih jauh. Dan ternyata, lo jauh berbeda dari bayangan gue.”
Mendengar itu, gue udah yakin sama apa jawaban Intan. Gue pun meraih dan menggenggam tangannya. Intan terlihat kaget dengan gerakan gue yang tiba-tiba.
“Jadi, kita jadian, ya?” tanya gue sambil mengangkat genggaman tangan kita berdua ke depan muka Intan. Ia pun tersenyum, lalu menarik tangan gue dan berjalan menuju mobil.
“Udah ah, aku mau pulang. Kamu nyetir aja.” jawab Intan.
Mendengar itu, membuat gue tersenyum lebar. Perjalanan hubungan baru antara gue dan Intan akan dimulai. Intan mengingatkan gue akan Pandora, cewek pertama yang diciptakan. Bedanya, Intan adalah cewek pertama yang berhasil meluluhkan hati gue. Semoga saja, Intan nggak punya kotak berisi kehancuran, ya. Hehehe
****
TAMAT
Image: Pinterest, Unsplash
AM