EMPAT #3 – Rahasia yang Terbongkar

Sinopsis:

Angka 4 seperti selalu menemani hidupku. Aku dan Dimas telah berpacaran selama 4 tahun. Dalam 4 bulan lagi, pernikahan kami akan digelar. Namun, kabar buruk menghampiriku. Hidupku akan berakhir dalam 4 bulan akibat kanker otak.

Aku yang putus asa, memutuskan melakukan segala cara untuk membuat Dimas membenciku hingga membatalkan pernikahan kami. Kenapa? Aku tidak ingin ia merasa terpuruk dengan kepergianku. Sounds cheesy? Iya, tapi aku bersungguh-sungguh.

Akankah rencanaku berhasil? 

Ketinggalan baca cerita sebelumnya? Sobat Shopee bisa membacanya di sini:

EMPAT #1 – Berita Buruk

EMPAT #2 – Rencana Dimulai

***

Sudah berapa kali aku mendatangi ruangan ini. Ruangan yang didominasi warna putih dan menyebarkan bau obat yang menyengat ini selalu membuatku muak. Ya, hari ini adalah kesekian kalinya aku mendatangi Dokter Bram untuk konsultasi. Semakin lama aku semakin merasa mual dan lemah.

Sebenarnya Dokter Bram menyuruhku untuk melakukan kemoterapi dan serangkaian pengobatan kanker lainnya. Namun aku selalu menolaknya karena semua itu akan sia-sia saja pada akhirnya. Kanker otak ini tidak akan menghilang begitu saja. Akhirnya dengan terpaksa Dokter Bram hanya memberiku obat penahan rasa sakit.

Melihat kondisiku yang tidak mungkin membaik membuatku semakin yakin untuk melakukan rencana pembatalan pernikahan. Aku berhasil mendapatkan kontak Reza setelah pertemuan kami di tempat katering kemarin. Sejauh ini mendekati Reza tidaklah sulit karena ia memang orang yang mudah bergaul. Bahkan, hari ini aku berhasil membuat janji untuk bertemu Reza tanpa memberitahu Dimas.

Setelah puas mendengar ocehan Dokter Bram soal kemoterapi dan mendapatkan semua obat yang aku butuhkan, aku bergegas menemui Reza di suatu kafe di Jalan Progo, Bandung. Aku bisa melihat Reza sudah duduk manis di bangku tinggi yang ada di depan meja barista. Mereka sepertinya sedang asyik membicarakan soal kopi.

“Reza, sorry ya, lama. Gue habis ketemu orang dulu tadi.” kataku sambil duduk di samping Reza.

“Eh, santai aja, Deb. Gue yang harusnya minta maaf karena lo mau nemenin gue nyari kado buat keponakan gue.”

Keponakan Reza memang akan berulang tahun akhir pekan ini, karena itulah Reza kembali ke Indonesia. Sebelumnya, Reza sempat menyampaikan kebingungannya memilih kado untuk keponakannya. Melihat kesempatan untuk pergi berdua dengan Reza, aku pun langsung menawarkan diri untuk membantunya.

“Nggak apa-apa, Za. Gue lagi nggak sibuk kok. Eh, lo udah makan? Gue makan dulu ya, laper banget.” kataku sambil melihat menu makanan yang terlihat menggiurkan ini. Rasanya aku ingin memesan semuanya.

“Iya, makan aja dulu, Deb. Btw, Dimas nggak ikutan?”

“Nggak, dia lagi sibuk. Lagian kayaknya Dimas nggak bakal membantu. Lo sama Dimas ‘kan sama aja.” jawabku sambil memanggil pelayan untuk memesan makan. Akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada sandwich ayam. Reza pun tertawa dengan ucapanku barusan.

Setelah menghabiskan makanan, kami langsung berjalan ke pusat perbelanjaan yang berada tidak jauh dari kafe. Reza sempat bingung memilih kado yang pas untuk keponakannya. Akhirnya aku menyarankan boneka supaya masih bisa disimpan hingga beranjak dewasa nanti.

Selagi sibuk memilih karakter boneka yang mungkin disukai keponakannya, tiba-tiba aku merasakan pusing yang menjalar ke seluruh kepalaku. Pandanganku pun semakin buram dan gelap. Sebelum hilang kesadaran sepenuhnya, aku bisa melihat Reza yang panik berlari ke arahku, menemukan aku terjatuh pingsan di depannya.

***

“Baik, makasih, Dok. Akan saya sampaikan.”

Terdengar sayup-sayup suara Reza saat aku membuka mataku. Aku terbangun di suatu kamar bernuansa putih dan memiliki bau obat yang menyengat. Iya, aku kembali ke rumah sakit lagi. Kenapa bisa pas sekali Reza membawaku ke rumah sakit Dokter Bram. Memang rumah sakit inilah yang paling dekat dari tempat kita tadi, sih.

Ulster hospital single bedrooms with large corridor windows rory moore photography

Melihat aku telah sadar, Reza langsung menyeret kursi dan duduk di samping tempat tidurku. Ada kepanikan yang sangat kentara pada raut wajahnya.

“Deb, cerita sama gue. Lo kenapa? Dokter nggak mau ngasih tahu secara detail. Tapi dia bilang kondisi lo sangat serius and i know there’s something wrong. Please, cerita sama gue.”

Aku pun diam menatap Reza. Apakah aku harus menceritakan semuanya ke Reza? Apakah Reza bisa menjaga rahasia dari Dimas? Tapi mungkin Reza bisa membantuku jika aku menceritakan yang sebenarnya.

“Reza, janji lo nggak bakal ngasih tahu ini ke Dimas?” pintaku yang dibalas dengan anggukan pasti oleh Reza. Aku pun mulai menceritakan semuanya, tentang penyakitku, rencanaku, serta alasanku. Tak pernah kusangka Reza jadi orang pertama yang tahu tentang ini selain keluargaku.

Setelah aku selesai bercerita, Reza hanya terdiam. Dia tidak mengatakan apapun dan hanya memandangku. “Deb, gue nggak tahu harus bilang apa. Ini lo serius, ya? Nggak bercanda?” jawab Reza masih tidak percaya.

“Masa gue bercanda, Za. Lo udah janji nggak akan bilang ini ke Dimas. Yang gue butuhin sekarang adalah, lo bersedia bantuin gue.”

Reza pun hanya bisa diam. Dia tidak bisa memberiku jawaban dan menurutnya rencanaku ini sangatlah gila. Di satu sisi ia memahami kenapa aku ingin melakukan rencana ini, namun di sisi lain, ia merasa tidak bisa membohongi sahabatnya sendiri untuk hal sebesar ini.

Please, Za. Mungkin ini terakhir kalinya gue minta bantuan lo.” Aku benar-benar memohon kepada Reza dan sepertinya ia pun mulai luluh. Dengan berat hati, Reza pun menganggukkan kepalanya perlahan.

“Haaah, oke. Tapi lo harus janji, kalau lo merasakan sakit sedikitpun, lo harus bilang ke gue. Harus. Wajib. Kudu.” kata Reza sambil mengangkat jari kelilingnya.

Aku pun tersenyum dan membalas janji jari kelilingnya. “Roger that!”

“Semua akan baik-baik aja, Deb. Kita serahin sama yang di atas.” kata Reza sambil memelukku. Semoga saja, Za. Semoga…

***

Kring… kring… kring

Ponselku tak henti-hentinya berdering. Sudah belasan kali Dimas meneleponku tapi tak ada satupun yang kujawab. Aku hanya bisa terbaring lemah di atas tempat tidur kamarku ini. Kondisiku semakin buruk. Aku menjadi lebih sering jatuh pingsan dan sakit kepalaku semakin tak tertahankan.

Sementara Reza kini berada di sampingku sambil menyuapi sesendok bubur ayam. Setelah mengetahui semuanya, Reza memang jadi lebih sering bersamaku. Ia selalu memastikan bahwa keadaanku baik-baik saja. Bahkan, seharusnya ia sudah kembali ke Sydney sejak beberapa minggu lalu. Namun, ia memilih tetap berada di Indonesia untuk menemaniku.

Kehadiran Reza harus kuakui sangat membantuku. Ketika aku merasa jenuh, Reza selalu berusaha membuatku tertawa. Seperti saat ini, Reza melakukan aksi aneh saat menyuapiku, jelas saja aku langsung tertawa. Akibatnya, beberapa bubur belepotan di sekitar bibirku. Reza hanya bisa tertawa melihat hasil kerjanya. Ia kemudian mendekatkan badannya ke arahku dan menyeka sisa bubur di bibirku. Jarak di antara kami pun semakin dekat.

Hingga tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu kamar tidurku. Aku bisa melihat Dimas berdiri di sana. Melihat kami dalam posisi yang sangat berdekatan. Bahkan, jika dilihat dari mata Dimas, posisiku dan Reza saat ini seperti sedang berciuman! Aku yakin Dimas pasti akan salah paham.

Aku tahu aku menginginkan ini terjadi. Namun, melihat mata Dimas saat ini, aku menjadi merasa sangat bersalah. Selain kaget, Dimas benar-benar terlihat murka dan kecewa.

Ya ampun, apa yang akan terjadi selanjutnya?

***

To be continued

 

Baca cerita selanjutnya: EMPAT #4 – Meninggalkan Semua

Image: Unsplash, Pinterest

AM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *