PANDORA : Empat Mata

Sinopsis:

Pandora adalah cerita cinta antara dua anak muda yang sangat berbeda. Rama–lelaki tampan pujaan semua gadis di kampusnya, dan Intan–satu-satunya gadis berpenampilan sederhana yang tidak tertarik pada Rama. Diburu rasa penasaran, Rama melakukan segala cara untuk membuat Intan luluh kepadanya.

Satu yang tak pernah Rama sangka, bahwa ia sendirilah yang akan benar-benar jatuh hati kepada Intan. Layaknya Pandora–perempuan pertama yang diciptakan–Intan adalah gadis pertama yang diciptakan yang berhasil merebut hatinya.

Namun, apakah Intan akan membawa kebahagiaan atau justru kehancuran bagi Rama?

Kelewatan baca cerita PANDORA? Sobat Shopee bisa baca episode lainnya berikut ini:

Episode 1 – PANDORA : Pertemuan Pertama

Episode 2 – PANDORA : Senyuman Pertama

***

Setelah kejadian pulang bareng dan disenyumin Intan, gue sebenarnya cukup takut jika keesokannya harinya Intan bakal bertingkah sama seperti cewek-cewek lainnya. Berubah ganjen dan terus-terusan mengejar gue. Namun ternyata ketakutan gue itu percuma, karena Intan tetap bersikap ‘normal’ ketika berhubungan sama gue.

Intan tetap menjadi cewek sederhana. Ia tetap tampil natural dengan pakaian casual dan tidak histeris setiap kali bertemu gue. Meski ia tidak secuek dulu, Intan masih sedikit menjaga jarak dari gue. Mungkin karena tatapan mata sinis yang ia dapat dari cewek-cewek lain setiap gue ngobrol sama dia.

***

Hari yang baru pun tiba dan kali ini gue benar-benar malas berada di kampus. Padahal masih ada dua kelas lagi habis ini. Apa gue bolos aja, ya? Mumpung nggak ada kuis atau presentasi penting juga. Nah, gue butuh Andre buat jadi temen bolos, nih. Anak satu itu emang asik banget kalau diajak hangout.

Setelah berkeliling mencari Andre di area kampus, gue malah menemukan dia di perpustakaan. Satu-satunya tempat yang cuma kita datangi kalau bener-bener ada tugas kuliah yang penting. Kalau gue menemukan dia di sini, itu artinya Andre nggak bakal bisa diganggu, nih.

“Ndre, ngapain lo di sini?” sapa gue sambil duduk di bangku di sebelah Andre.

“Duh, gue lagi nggak bisa main, Ram. Pak Bram ngasih tugas ngeselin banget, nih. Udah dadakan, susah lagi!” Andre langsung mengomel soal tugasnya yang kalau gue lihat dari layar laptopnya, masih jauh dari kata selesai.

“Ah, nggak asik banget lo. Gue males banget di kampus, nih. Cabut aja, yuk.”

“Kalau gue cabut sekarang, besok nama gue juga bakal dicabut dari kelas Pak Bram. Nilai gue jelek banget belakangan ini.” balas Andre tanpa menoleh ke gue sedikitpun, matanya masih saja fokus menatap layar laptop di depannya.

Yah, udah hopeless ini sih, kalau mau mengajak Andre. Akhirnya gue hanya duduk diam di sampingnya sambil melihat ke sekeliling perpus. Mata gue langsung berbinar-binar (iya, berlebihan emang) ketika melihat sosok cewek yang sudah sangat gue kenal, duduk di meja terdepan. Intan sedang duduk sendirian menghadap ke arah gue dan Andre sambil membaca buku.

Tanpa pikir panjang, gue langsung berdiri dan berjalan menuju mejanya, meninggalkan Andre yang masa bodoh dengan keberadaan gue.

“Hei, ntan. Sendirian aja.” sapa gue ramah sambil menarik kursi di depannya. Intan kemudian tersenyum ketika melihat gue. Damn, senyum itu lagi.

“Hei, Ram. Iya, nih. Temen gue lagi ada kelas semua. Gue nggak tahu mau ngapain lagi jadi baca buku aja, deh.”

“Oh, lo masih ada kelas lagi berarti, ya. Jam berapa?” tanya gue sambil melihat sampul buku yang dibaca Intan. Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Yap, satu lagi perbedaan yang terpampang nyata antara gue dan Intan. Gue cuma tahu judul buku itu setelah baca berita kalau ternyata buku itu akan difilmkan. Udah, itu aja. Payah memang.

“Nggak ada, sih. Gue cuma males aja pulang ke rumah.” jawab Intan sambil melirik jam tangannya.

Seketika itu gue langsung diam. Ide cemerlang terlintas di benak gue. Kesempatan banget, nih.

“Wah, pas banget. Cabut aja yuk, Ntan. Gue juga lagi pengen main ke luar. Nggak mood banget di kampus, nih.” gue membujuk Intan sambil menggunakan jurus mata memelas.

“…kemana?” jawab Intan masih terlihat ragu.

“Hmm… terserah lo, sih. Mau makan ayok, mau ngopi aja ayok, mau nonton ayok banget, atau… ke toko buku?” sengaja gue pancing Intan dengan benda kesukaannya. Buku!

Intan kemudian diam sambil menatap gue datar. Ditatap begitu gue malah jadi grogi. Jadi gue cuma bisa menampilkan mata memelas gue lagi.

“Oke, boleh deh, Ram.” jawab Intan sambil bangkit dan mengembalikan buku yang dibacanya tadi ke rak buku di sebelahnya.

Gue cuma bisa menatap Intan bengong sambil kemudian tersenyum lebar. Gila, gue beneran bakal jalan berdua sama Intan, nih.

***

Setelah cukup lama memilih tempat tujuan, akhirnya Intan memutuskan untuk makan santai aja di restoran sekitar Kemang, Jakarta Selatan dibanding ke toko buku. Selama perjalanan di mobil kita hanya duduk diam menikmati jalanan Jakarta yang saat ini terasa lebih sejuk karena cuaca yang mendung.

...

Intan memilih sebuah restoran kecil yang berada di sudut jalan. Restoran ini sangat mungil namun memiliki interior yang terasa homey dan makanannya pun tidak buruk. Sudah jelas bukan salah satu restoran yang akan gue datangi, sih.

Kami menyantap makanan dalam diam, namun diam ini terasa menenangkan dan tidak canggung sama sekali. “Pasti lo nggak pernah makan di restoran seperti ini ‘kan, Ram?” Intan membuka pembicaraan sambil menyantap nasi bakar ayamnya yang tinggal setengah.

Well, actually dari luar bangunan ini nggak terlihat kayak restoran, Ntan. Gue kira rumah biasa.” balas gue sambil sedikit bercanda. “Tapi nuansanya oke banget ternyata, bikin nyaman.” tambah gue meyakinkan.

Intan tertawa dengan jawaban gue. “Hahaha. Iya, paham kok. Lo nggak usah nge-yakinin gue seakan-akan lo suka tempat ini dong.” jawab Intan sambil tertawa kecil.

Melihat Intan berada di depan gue seperti ini, menyantap makanan dengan lahap dan tertawa renyah karena jokes receh dari gue, membuat gue semakin nyaman berada di dekatnya. Intan benar-benar menyimak semua ucapan gue, tidak seperti cewek lain yang hanya mementingkan looks dan status gue.

Semakin lama, Intan juga mulai menceritakan tentang dirinya. Seperti yang gue duga, Intan bukanlah anak dari keluarga kaya raya, ia lahir di lingkungan yang serba sederhana di Jogja. Namun bukan berarti Intan orang yang berkekurangan, keluarganya sebenarnya cukup mampu, Intan hanya dididik untuk selalu hidup sederhana.

Kehidupan Intan ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan gue yang jauh dari kata sederhana. Keluarga gue sangat memenuhi kebutuhan gue. Bahkan, untuk sesuatu yang sebenarnya nggak terlalu gue butuhkan, mereka pun bersedia memenuhi. Nggak heran ‘kan kalau banyak ‘agenda lain’ yang membuat cewek-cewek deketin gue.

Waktu tak terasa berlalu dan hari sudah semakin sore. Acara makan bareng Intan ini membuat gue semakin menyukai dia. Gue jadi ingin melakukan banyak hal dengan Intan, gue ingin membicarakan semua hal bersama Intan, dan gue ingin selalu melihat wajahnya at least sekali dalam sehari.

Is this what you called falling in love? Kalau memang iya, gue nggak mau nunggu lagi untuk nanya satu pertanyaan ke Intan. Pertanyaan yang belum pernah gue lontarkan sebelumnya ke siapapun. Pertanyaan yang nggak pernah gue sangka akan gue tanyakan ke cewek seperti Intan.

“Ntan… gue bener-bener nyaman sama lo. Hmm… kita jadian, yuk. Lo mau jadi pacar gue?”

Intan diam. Begitu pula gue.

Jantung gue pun berdegup kencang menunggu jawaban Intan selanjutnya.

***

To Be Continued

Baca episode 4, PANDORA : Genggaman Tangan di SINI 

Image: Unsplash, Pinterest

AM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *