X

Novel Haru – You Are The Apple of My Eye

Sebuah kisah cinta antara siswa pembuat onar dan gadis teladan

Sinopsis:

Kau sangat kekanak-kanakan – Shen Jiayi

Sedikit pun kau tidak berubah, nenek yang keras kepala – Ke Jingteng

Semua berawal saat Ke Jingteng, seorang siswa pembuat onar, dipindahkan untuk duduk di depan Shen Jiayi, supaya gadis murid teladan itu bisa mengawasinya. Ke Jingteng merasa Shen Jiayi sangat membosankan seperti ibu-ibu, juga menyebalkan. Apalagi, gadis itu selalu suka menusuk punggungnya  saat ia ingin tidur di kelas dengan pulpen hingga baju seragamnya jadi penuh bercak tinta. Namun, perlahan Ke Jingteng menyadari, kalau Shen Jiayi adalah seorang gadis yang sangat spesial untuknya.

Karena masa mudaku, semua adalah tentangmu…

***

 

Kisah ini dimulai dari sebuah dinding. Musim panas tahun 1990, SMP Jingcheng, Changhua, kelas seni 2A. Seorang anak laki-laki berambut ikal, penuh percaya diri, berandalan (yang suatu saat akan menjadi anak laki-laki yang baik), akhirnya dipindahkan duduk di pojok kelas paling belakang oleh Guru Lai karena sering bercanda ketika pelajaran berlangsung atau bertengkar dengan teman-temannya. Satu-satunya temannya sekarang adalah dinding.

“Ke Jingteng, kau berisik sekali!” cela Guru Lai dari atas mimbar, sambil melirikku yang sibuk memindahkan barang-barang di dalam laci.

 

“Saya bersalah, maafkan saya.” Aku merapikan buku pelajaran dan prakarya yang sangat berantakan di dalam laci sambil memasang raut wajah serius dan dingin.

Sial! Kalian teman-teman yang tidak tahu balas budi. Ketika pelajaran, aku rajin membuat lelucon tanpa memperoleh imbalan apa pun hanya untuk menyenangkan orang lain, membuat masa muda kalian bahagia. Tak disangka kalian memperlakukanku seperti ini. Sambil merapikan meja baru, aku menggerutu di dalam hati.

Demi mendapatkan penghargaan “kelas terbaik” setiap minggunya, Guru Lai membuat peraturan yang sangat ketat di kelas. Beliau juga menggunakan kebijakan “anjing menggigit anjing” dengan standar yang tinggi.

Setiap hari Senin, semua murid di kelas diminta untuk menuliskan tiga nama siswa yang suka membuat keributan minggu lalu di secarik kertas kosong, lalu dikumpulkan ke Cao Guosheng, si ketua kelas, untuk dihitung.

Setelah dihitung, yang mendapat suara terbanyak dalam daftar hitam pasti akan merasa sangat sial. Guru Lai akan menelepon orangtuanya untuk memberitahukan kelakuan si pembuat onar di sekolah, lalu menghukumnya.

 

Aku merasakan kesialan itu karena namaku berada di urutan pertama daftar hitam saat itu. Empat puluh lima orang teman sekelasku tidak menyangka bahwa aku bisa dijebak dengan mudah untuk dihukum duduk di sebelah tembok, seperti seorang murid yang belajar di pulau terpencil.

Semua orang memperhatikanku dengan saksama dan menunggu perkembangan selanjutnya.
Baiklah, hanya karena namaku berada di peringkat pertama daftar hitam, mengapa aku harus merasa sedih?

 

“Hahahaha…. Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Yang Zeyu, yang menempati urutan kedua dari daftar hitam sambil menyibakkan rambutnya.

 

“Berengsek!” Sial! Apakah salah membuat orang lain tertawa?

 

“Hei, jujur, aku tidak menulis namamu, lho!” ujar Liao Yinghong sambil menunjuk daftar hitam yang tak bernama. Ia sendiri pembuat onar di kelas yang seharusnya juga masuk ke daftar hitam.

 

“Aku juga tidak menulis namamu. Berengsek! Jelas-jelas kau lebih suka mencari gara-gara dibandingkan aku!” ujarku. Sebenarnya, aku menuliskan nama Liao Yinghong. Kita harus tahu cara melindungi diri agar tidak disalahkan. Situasi ini benar-benar seperti teror, memaksa orang untuk mengkhianati teman sendiri. Lagi pula… aku juga tidak percaya Liao Yinghong tidak menulis namaku.

 

“Ke Jingteng, kau kasihan sekali, hanya bisa mengobrol dengan dinding,” ejek Zheng Mengxiu, teman baikku yang tinggal di Lukang dan setiap hari berangkat ke sekolah naik bus sekolah.

 

“Berengsek!” ujarku sambil mengacungkan jari tengah.

 

Semua orang lantas mengikuti pelajaran dengan tenang, begitu juga aku. Tidak ada yang berbicara sendiri. Aku memainkan pulpenku, melihat ke arah tembok yang ada di sebelah kananku. Sebuah tembok yang tidak penting…. Sebuah tembok yang tidak penting? Membuatku merasa malu saja.

Aku manusia dan ia hanyalah tembok yang memiliki loyalitas tinggi, tetapi ia hanya bisa diam ketika berdiskusi. Kami berdiskusi menggunakan gambar kartun, dan terkadang aku juga sengaja mengeraskan suara untuk memberi tahu orang lain bahwa walaupun aku sedang berada dalam situasi genting, aku tetap berjuang tanpa henti.

***


Satu minggu kemudian, aku masih berada di peringkat satu daftar hitam. Tidak salah lagi, mereka sudah merencanakannya. Guru Lai berdiri di depan papan tulis dengan marah sampai seluruh tubuhnya gemetar sambil melihat wajah polosku.

 

“Ke Jingteng, ada apa denganmu? Mengapa bicara dengan dinding?” tanya Guru Lai marah, pembuluh darah di dahinya seperti mau meledak.

 

“Pak, saya sudah introspeksi. Berbicara dengan dinding adalah cara saya untuk mengendalikan diri,” ujarku malu, tetapi diam-diam kuacungkan jari tengahku di belakang kepala. Seluruh temanku berusaha sekuat tenaga menahan tawa mereka.

 

Guru Lai memejamkan matanya dengan berat, kemudian ia memicing seakan mencoba membuatku gentar. Seisi kelas menahan napas melihat Guru Lai berusaha meredam amarahnya. Aku menikmati situasi saat itu, dan dengan sikap kekanak-kanakan malah bangga menjalani hukuman ini karena pada saat yang sama aku juga menjadi pusat perhatian. Ayo, Pak! Tunjukkan keberanianmu sebagai seorang guru!


“Ke Jingteng!” panggil Guru Lai.
“Ya, Pak!” Aku menatap Guru Lai dengan sungguh-sungguh.
“Kau duduk di depan Shen Jiayi!” ujar Guru Lai sambil membuka matanya yang sudah terlihat merah.
“Hah?”

 

Apa-apaan ini? Shen Jiayi adalah murid perempuan paling pintar di kelas. Dia anak yang baik, berprestasi, dan disukai semua orang. Murid-murid perempuan bahkan tidak ada yang bisa marah karena iri padanya. Ia berambut pendek, mempunyai sedikit bintik-bintik di wajahnya, dan berkelakuan baik.

 

Ketika berhadapan dengan Shen Jiayi, aku merasa sangat tidak percaya diri, padahal aku adalah juara lomba narsis. “Shen Jiayi, mulai hari ini, tolong kau awasi Ke Jingteng, anak yang merepotkan ini.” Guru Lai terlihat bersungguh-sungguh.

 

Shen Jiayi mengerutkan dahinya. Ia menghela napas berat, merasa putus asa karena tidak berdaya menolak tugas yang mengharuskannya bertanggung jawab atas diriku. Aku, murid yang selalu masuk peringkat pertama dalam daftar hitam, tiba-tiba diserahkan dalam pengawasan seorang anak perempuan berbadan kecil dan kurus? Seisi kelas pun mulai berisik, bahkan Yang Zeyu tak bisa menahan tawanya lagi. Sial!


“Pak, tapi saya benar-benar sudah introspeksi diri. Sungguh!” ujarku yang masih terkejut.

 

“Shen Jiayi, bisakah?” Guru Lai tiba-tiba bertanya sambil memandang Shen Jiayi di tempat duduknya.

 

“Hm.” Shen Jiayi menjawab dengan tenang. Semua umpatan yang ada di kepalaku tiba-tiba hilang.

 

Jadi, adegan dalam cerita ini berawal dari tembok yang dipenuhi grafiti, lalu diam-diam membawa wajah cantik Shen Jiayi ke dalam cerita ini.

 

Ceritaku, bukan, cerita masa muda kami, dimulai begitu saja. Mereka duduk depan belakang. Titik-titik biru mulai menodai bagian belakang baju seragam si anak lelaki. Ketika ia menoleh, senyuman si gadis membuat si anak lelaki bermimpi selama delapan tahun, dan terbelenggu seumur hidup.


Apa yang sebenarnya terjadi?

***

Penasaran dengan cerita selanjutnya?

Fun Read
Tags: bukucerpeninspirasi shopeenovelpenerbit haruShopeeyou are the apple of my eye