Teman Tapi Sayang #3 – Pengakuan Linda

Sinopsis:

Linda dan Adit telah bersahabat sejak kecil. Mereka seperti tidak pernah terpisahkan. Meski lebih sering bertengkar seperti anak kecil, mereka sebenarnya sangat menyayangi satu sama lain. Tentu saja masih dalam batasan teman. Namun, ketika Adit menemukan tambatan hati, tanpa disangka Linda merasakan kecemburuan yang tidak pernah ia miliki sebelumnya. Linda tidak rela ‘kehilangan’ sahabatnya karena wanita lain.

Apakah Linda memang hanya takut kehilangan sahabat terbaiknya ataukah sebenarnya ia diam-diam menyimpan rasa pada Adit?

Ketinggalan baca cerita sebelumnya? Sobat Shopee bisa membacanya di sini:

Teman Tapi Sayang #1 – Linda dan Adit

Teman Tapi Sayang #2 – Perasaan Sesungguhnya

***

Haaah…

Inilah yang aku lakukan setiap pagi belakangan ini, mengembuskan napas sambil menatap ke langit-langit kamar tidurku. Pikiranku melayang kembali ke kejadian tiga hari lalu, ketika aku tidak sengaja bertemu Adit dan Megan dan melihat kedekatan mereka. Menyadari bagaimana aku begitu kesal dan jantungku yang berdegup tidak karuan ketika melihat mereka, membuatku semakin yakin kalau aku memang menyukai Adit lebih dari teman.

Duh, bodoh banget. Adit itu sahabat lo sendiri, Lin. Apalagi sekarang Adit telah menemukan sosok wanita yang ia sukai. Pokoknya lo harus menghentikan perasaan ini secepatnya sebelum lo terluka semakin dalam, pikirku.

Belum sempat aku sadar dari lamunanku, tiba-tiba terdengar suara klakson dari luar. Oh my god, itu pasti Adit! Aku lupa kalau proyeknya di BSD sudah selesai dan sekarang ia berangkat kerja seperti biasanya. Rutinitas kami berangkat kerja bareng pun sudah dimulai lagi. Duh, tapi aku lagi nggak mood ketemu Adit, nih.

Related image

Aku pun segera mengambil ponselku dan mengirimkan pesan singkat ke Adit. Aku bilang saja kalau aku belum siap, padahal sebenarnya aku tinggal memakai sepatu dan merapikan rambut saja. Setelah pesan terkirim, aku bergegas menuju ke meja rias. Namun, tiba-tiba ponselku berdering dan tertulis nama Adit di layar.

“Halo?” jawabku sambil menyisir rambut.

“Heh, lo belum siap? Yaudah lah, gue tungguin. Biasa juga gue tungguin terus lo,” kata Adit. Ya ampun, rasanya sudah lama nggak mendengar ocehannya.

“Duh, masih lama gue, Dit. Hmm… gue… gue baru banget selesai mandi. Belum milih baju, belum dandan, belum keringin rambut terus nyatok rambut,” jawabku tanpa henti mencoba mencari alasan.

“Dasar cewek ribet banget, sih. Yaudah gue tinggal nggak apa-apa, nih? Gue ada meeting soalnya pagi ini,” jawab Adit yang seperti biasa terdengar kesal dengan tingkahku.

“IYAK! NGGAK APA-APA, DULUAN AJA, DIT!” jawabku terlalu bersemangat karena aku ingin Adit segera pergi.

Setelah menceramahiku untuk segera bersiap-siap supaya tidak telat, akhirnya Adit menyudahi pembicaraan kami di telepon. Tak lama kemudian aku bisa mendengar suara mobil Adit yang menjauh dari rumahku.

Duh, kenapa lo malah jadi takut ketemu Adit sih, Lin? Kayak anak SMA aja, deh!

***

Untungnya kesibukan di kantor membuatku bisa menghilangkan Adit dari pikiranku dan tak terasa sekarang sudah waktunya pulang saja. Berhubung hari ini aku tidak membawa mobil sendiri, aku berniat memesan taksi online. Belum sempat aku memesan taksi, tiba-tiba Adit sudah berada di depan bilik meja kerjaku sambil menampilkan senyuman di bibirnya.

“Lin, udah selesai ‘kan? Balik, yuk,” kata Adit yang sudah menenteng tas kerjanya, bersiap untuk pulang. Duh, kalau sudah sampai disamperin begini aku nggak bisa mengelak lagi, nih.

“Eh, Dit. Bikin kaget aja, kirain siapa. Hmm iya, bentar lagi ya, gue masukin laptop dulu ke tas,” entah kenapa tiba-tiba aku merasa gugup ngomong dengan Adit.

Setelah selesai membereskan semua barang-barangku, kami pun berjalan menuju lift untuk turun ke lobby. Tak seperti biasanya, kami berjalan dalam diam. Tak ada tawa renyah dariku atau pun ocehan dari Adit. Sepertinya Adit menyadari keanehan ini karena ia terus menatapku bingung sedari tadi.

“Lo kenapa deh, Lin? Tumben diem aja. Biasanya berisik kalau ketemu gue,” kata Adit saat kami sudah berada di dalam mobilnya.

Related image

“Hah? Nggak apa-apa kok. Gue lagi capek aja sama kerjaan,” jawabku sambil berpura-pura lelah.

“Kerjaan lo bukannya udah selesai? Laporan akhir tahun udah oke ‘kan sama Pak Darwo? Malah gue yang lagi banyak banget kerjaannya nih gara-gara proyek di BSD itu,” jawab Adit yang tetap fokus menatap jalanan. Memang muka Adit terlihat sangat lelah.

Proyek BSD… nama Megan seketika langsung terlintas di benakku. Karena proyek itu mereka jadi sering menghabiskan waktu berdua. Penasaran dengan apa yang mereka lakukan, aku pun mulai menanyakan tentang proyeknya itu.

“Duuuh, Adit kasihan banget, deh. Emang ngapain aja sih di BSD?” tanyaku dengan manja, mencoba bersikap seperti biasanya. Mendengarku sok manja seperti itu, Adit pun tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Seperti heran kenapa dia bisa punya teman seaneh aku.

Adit pun kemudian mulai menceritakan tentang proyeknya di BSD. Proyek ini termasuk mendadak maka dari itu Adit sangat sibuk menyiapkan semuanya agar bisa berjalan lancar. Itulah juga alasannya kenapa belakangan ini ia sangat susah dihubungi dan ditemui. Untungnya, saat ini proyek tersebut sudah mulai berjalan dan belum ada kendala apa pun.

Adit memang cukup lengkap menjelaskan tentang proyeknya di BSD, namun ada satu hal yang hilang dari ceritanya. Satu hal yang sangat ingin aku ketahui saat ini. Ya, hal tentang Megan. Nama wanita itu belum pernah ia sebut lagi sejak pembicaraan pertama kami di kedai mie ayam beberapa minggu yang lalu.

“Kalau cewek yang deket sama lo gimana, Dit? Siapa namanya itu…hmm… Megan?” kataku sengaja memancing Adit.

“Oh, iya Megan. Hmm… begitu deh. Kita udah semakin dekat. Apalagi Megan satu tim sama gue di proyek BSD kemarin, jadi gue banyak menghabiskan waktu sama dia. Anaknya emang seru banget, Lin. Dia gampang bikin orang lain nyaman sama dia,” jawab Adit lalu menghentikan mobilnya. Ternyata kami sudah sampai di depan rumahku.

Aku pun beranjak keluar dari mobilnya. Sebelum pergi Adit sempat mengingatkan untuk cepat tidur dan bangun pagi besok. Duh, ocehannya masih saja belum berhenti.

Sambil berjalan menuju kamarku, aku kembali memikirkan jawaban Adit tadi. Jawabannya kali ini berbeda dengan jawaban-jawaban sebelumnya. Biasanya Adit akan selalu menjelaskan hal-hal yang tidak ia sukai dari wanita yang sedang dekat dengannya. Namun dengan Megan, sepertinya Adit benar-benar menyukainya. Sebaiknya aku harus merelakan Adit dengan Megan dan mulai menjauh darinya. Kalau tidak, aku akan terus merasakan kesedihan ini.

***

Hari-hari selanjutnya aku pun mulai berusaha menjauhi Adit. Aku mulai menolak tawarannya untuk berangkat bareng setiap pagi. Bahkan aku berangkat lebih pagi dari biasanya untuk menghindarinya. Aku juga mulai jarang mengajaknya pergi setiap malam.

Tentunya, Adit mulai menyadari keanehan ini. Seorang Linda tidak mungkin bisa tidak mengabarinya selama dua minggu penuh. Ia tahu jika aku melakukan ini maka ada sesuatu yang tidak beres. Mungkin karena itulah, saat ini Adit sudah duduk di teras rumahku, menungguku pulang dari kantor. Hari ini aku memang pulang agak malam.

Melihat Adit, aku hanya menyapa seperlunya. Hari ini aku sangat lelah sehingga aku tidak memintanya masuk ke dalam dan langsung menyuruhnya pulang saja. Tentu saja Adit tidak akan semudah itu pergi dari teras rumahku.

“Lo lagi kenapa sih, Lin? Belakangan ini kenapa aneh banget. Lo lagi marah sama gue?” tanya Adit.

“Nggak ada apa-apa kok. Gue cuma capek aja. Udah pulang aja sana, udah malam, Dit.”

“Apaan, sih? Lo aneh banget belakangan ini. Kita udah jarang banget ketemu tahu. Masa gue lebih sering ketemu Megan dibanding ketemu lo.”

Mendengar nama Megan membuatku langsung kesal. “Lho, bagus dong. Gue ngasih lo waktu buat bisa berduaan sama cewek lo,” jawabku dengan suara yang lebih tinggi dari yang aku duga.

“Lho, kenapa lo jadi marah-marah? Kayak cemburu aja lo,” jawab Adit yang sepertinya terpancing dengan emosiku yang tiba-tiba.

“Emang, gue cemburu, gue nggak suka!” teriakku sambil memejamkan mata.

Dan tiba-tiba hening.

Aku yang baru saja menyadari apa yang kukatakan, langsung menutup mulutku dengan kedua tangan. Sementara Adit, menatapku sambil menahan tertawa. Sepertinya terhibur dengan apa yang baru kukatakan barusan.

***

To be continued

Baca cerita selanjutnya, Teman Tapi Sayang #4 – Linda dan Adit 2.0

Image: Speed Online, Flickr

AM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *